Kamis, 26 Februari 2015

RISE

Sinopsis



RISE adalah sebuah kisah motivasi dari seorang remaja putri yang penuh dengan semangat juang untuk berhasil menjadi seorang pelajar setelah mengalami banyak cobaan dan terpuruk dalam peliknya kehidupan, dalam cercaan rekan-rekan sekolahnya.

Kebangkitan remaja putri yang bernama Fifi inilah yang kemudian menjadikan semua orang sadar bahwa tidak ada yang pantas untuk disombongkan meskipun dalam keadaan berada, serba cukup atau bahkan bergelimangan harta.

Fifi yang pada akhirnya mampu menunjukan dirinya memiliki kemampuan untuk dapat sukses menjadi pelajar dan mampu menjadi contoh yang sangat patut ditiru ditengah-tengah banyaknya permasalahan para generasi muda saat ini.




Pagi itu begitu indah, cerah, udara sangat sejuk, sungguh serasa alam memeluk erat diri ini, aku sendiri merasa bahagia meskipun sebenarnya dipundak ku ada banyak beban yang masih saja menempel, sebenarnya aku ingin sekali menaruh beban ini, serasa tidak mampu. Namun, aku percaya bahwa sesungguhnya Tuhan tidak memberikan cobaan melainkan yang mampu untuk dijalani oleh hamba-Nya.

Inilah kisah hidupku dimana aku harus terus berjalan menatap kedepan, masih banyak yang harus aku selesaikan, masih banyak yang harus aku hadapi. Peliknya kehidupan ini semata-mata adalah ujian, baik dan buruknya semua tersirat sebuah pelajaran berharga.

"Teng teng teng......!" bel sekolah telah berbunyi pertanda bahwa kegiatan belajar akan segera dimulai. Namun dengan nafas terengah-engah aku berlari menuju sekolah yang sebenarnya tidak jauh lagi. Tapi karena rasa takutku kepada Guru sehingga aku terus saja bergegas masuk kedalam kelas. Dan sesampainya di kelas; "Huuuuuuuuuuuuu" sambut teman-teman sekelasku karena lagi-lagi aku terlambat masuk kelas.

"Fifi kenapa terlambat lagi?" tanya Guru ku yang bernama Bapak Suyanto

"Maaf pak Saya kesiangan lagi" jawabku sambil merasa takut telah melanggar disiplin kelas pak Yanto.

Pak Yanto sendiri adalah seorang Guru yang tegas, jika seorang siswa pantas mendapatkan hukuman maka akan benar-benar dihukum. Sama seperti aku yang hampir setiap pertemuan dengan pelajaran beliau, aku selalu mendapatkan hukuman dari beliau.

"Fifi silahkan berdiri didepan sembari memegang kedua telinga sampai pelajaran bapak selesai satu jam mendatang!" terus pak Yanto memberikan hukuman

"Emang enak ya dihukum terus!" sahut temenku Lia yang memang sedikit sinis karakternya

Aku hanya bisa diam dan menjalani hukuman itu, tapi aku masih bisa memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh pak Yanto, meskipun aku tidak bisa mencatat didalam buku, tapi setidaknya aku masih bisa mencatat nanti sepulang dari sekolah ku.

Satu jam berlalu akhirnya kelas diistirahatkan selama 15 menit. Dengan berjalan keluar semua teman-temanku mengejek aku yang sedang mendapat hukuman. Aku sendiri belum berani menurunkan kaki dan tanganku yang memegang telinga sebelum mendapatkan perintah dari pak Yanto.

"Huuuu dasar tukang telat, rasain Lu" celoteh teman-teman tepat diwajah ku. Hal ini sebenarnya membuat aku semakin merasa bersalah, kadang berfikir sampai kapan tidak dihukum? tapi......... aku hanya bisa berangan-angan seolah aku belum menemukan sebuah keyakinan yang cukup mampu bagiku untuk bangkit membangun semua ini menjadi lebih baik.

"Fifi kemari !" perintah pak Yanto kepada ku

"Iya pak" sahutku kepada pak Yanto

"Silahkan duduk Fifi!" tegas pak Yanto untuk mempersilahkan aku duduk

"Begini Fifi, bapak perhatikan sejauh ini kamu sering telah, nilai mu juga semakin menurun, kalau ini kamu biarkan terus menerus, maka ini akan merugikan dirimu sendiri. Tidakkah kamu mau berupaya untuk memperbaiki ini semua? ada apa sebenarnya?" tanya pak Yanto kepada ku

"Iya pak Saya usahakan untuk memperbaiki semua" jawabku dengan nada lirih tak berani memandang wajah pak Yanto.

Saat berjalan pulang aku terus memikirkan akan kejadian demi kejadian yang aku alami, aku terus berfikir sampai kapan akan terus begini, tentu saja nilai ku serta kelulusanku nanti akan terancam jika aku terus begini, aku mengerjakan satu hal tapi aku juga mengorbankan satu hal penting. Akhirnya rasa lelahku berfikir berpengaruh terhadap fisik ku, aku sejenak berhenti di diperjalanan pulang sembari melihat anak-anak yang riang berenang disungai.

Aku kembali meneruskan perjalananku untuk pulang, banyak hal yang harus segera aku lakukan demi sebuah keberlangsungan. Aku ingat pesan ayah untuk tetap tegap berjalan menapaki jalan kehidupan yang berliku, yakin bahwa penderitaan tidaklah lama, semua ada masanya dimana semua akan berakhir. Semua akan berakhir.

Keesokan harinya...........

"Hah jam berapa ini, aduh pasti telat lagi" aku yang bergumam karena melihat jam ternyata sudah seharusnya aku berangkat sekolah, tapi aku malah baru bersiap-siap. Dan ternyata akupun lupa bahwa ada tugas-tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Pagi ini adalah jam pelajaran pak Yanto lagi, pasti akan kena hukuman lagi.

Namun ternyata sesampainya disekolah, pak Yanto tidak hadir karena ada urusan mendadak dimana pak Yanto harus pulang kampung selama beberap hari, padahal kami sangat membutuhkan pak Yanto mengingat pelajaran beliau adalah pelajaran yang sangat penting dan berpengaruh. Aku sesampainya dikelas hanya duduk berdua dengan Rita, membaca buku dan terkadang kami selingi dengan ngbrol santai. Karena Rita adalah teman didalam kelasku yang mempunyai sifat netral dan bijaksana.

"Sering telat, kadang juga ngantuk dikelas" Celoteh Rianti seolah menyindir aku

"Jangan-jangan gak bener tuh dia" sahut Fera dengan nada lirik berbisik-bisik kepada Rianti

Aku hanya bisa diam dan tersenyum dengan semua itu, Rita yang memegang pundak ku seakan memberikan isyarat agar aku tetap sabar menghadapi celotehan mereka, agar aku tidak boleh larut dalam suasana dan cenderung tidak bisa mengontrol emosi ku. Karena memang harus ada pembeda agar semua menjadi tenang, jika saja aku terbawa emosi pastinya tidak ada bedanya antara aku dan mereka. Aku harus sadar sepenuhnya bahwa mereka tidak mengerti bagaimana aku dan apa yang aku lakukan sehingga aku menjadi seperti ini.

Pada jam istrirahat aku dan Rita duduk berdua menepi dari keramaian teman-teman yang lain. Seakan kami menikmati persahabatan ditengah-tengah cercaan teman-teman. Kami duduk disebuah kursi panjang sembari mengayun-ayunkan kaki kami bercerita dan bercanda berdua.

"Pernah memikirkan tentang mereka?" tanya Rita kepada ku

"Itu pasti" jawabku sembari tersenyum kepada Rita

"Tidak terfikir untuk membalas atau membela diri?" terus Rita bertanya kepada ku

"Generasi sekarang ini memang seperti itulah, terlalu cepat menghakimi tanpa sedikitpun tau tentang aku yang sebenarnya" jawab ku atas pertanyaan Rita

"Tapi mereka pun harus sesekali diberi teguran" sahu Rita seolah menyayangkan kejadian yang sering aku alami

"Dengan apa? Judge Them atau anarki? Rita, dunia itu sangatlah luas terutama bagi para pemaaf, dan pasti akan menjadi terasa sempit bagi para pendendam, dunia akan terasa lapang bagi orang-orang yang mampu meminta maaf dan dunia terasa lapang bagi pemberi maaf" jawabku dari pertanyaan Rita karena aku tak mau terbawa suasana yang semakin sulit

Dan waktu pulang aku berjalan bersama Rita, bercanda ria sembari bermain-main ditepi sungai, disitulah kami banyak berfikir dan mulai menemukan semangat baru untuk bangkit, kami selalu pulang bersama, menyempatkan diri untuk belajar disebuah gubuk dekat sungai dengan hamparan tanaman padi yang luas nan hijau.

Sesampainya dirumah aku bergegas melakukan kegiatan keseharianku, dan aku lanjutkan belajar sampai larut malam, tak jarang aku tertidur ditengah-tengah tumpukan buku mengingat 1 bulan lagi aku akan menghadapi ujian. Hal terberat yang harus aku lakukan dimana aku aku dituntut oleh dua hal. Sementara ibuku terlihat lelah dan butuh istirahat cukup semenjak ibu sakit.

Sebulan kemudian.............

"Baik anak-anak sekalian, kita sudah tiba pada masa dimana kita akan mengumumkan lulusan terbaik kita tahun ini" ucap pak Yanto yang mewakili Kepala Sekolah

"Wah pasti aku ya pak yang terbaik" sahut Lia dengan nada lantang, hal itu sontak membuat rekan-rekan meneriaki Lia karena sudah bersikap over percaya diri didepan semua guru.

"Baik tenang-tenang, bapak akan beritahukan dari urutan ke-3 terlebih dahulu. Juara ke-3 jatuh kepada laki-laki yaitu Wayan" terus pak Yanto memberikan pengumuman

Mendengar itu siswa bersorak memberikan selamat kepada Wayan atas prestasi yang telah Ia peroleh. Pak Yanto melanjutkan memberikan pengumuman juara ke-2 yang jatuh kepada Rita yang memang dari kelas satu dikenal sebagai siswi berprestasi. Semua rekan-rekan berteriak gembira memberikan selamat kepada Rita.

"Baik tenang.... Untuk juara pertama jatuh kepada Fifi" tegas pak Yanto. Namun mendengar itu semua rekan-rekan terdiam seolah-olah tak percaya.

"Tidak mungkin lah pak dia juara pertama, bapak salah baca mungkin" Sahut teman-teman

"Ini sudah dilakukan penilaian sesuai dengan apa yang kalian peroleh dari hasil kerja kalian masing-masing, tidak ada kecurangan disini" tegas pak Yanto.

Selanjutnya kegiatan dilaksanakan dengan memberikan hadiah atas prestasi yang kami peroleh. Hadiah diberikan mulai dari juara ke-3, juara ke-2 dan juara pertama. Namun saat aku hendak meninggalkan podium pak Yanto memanggil dan bertanya "Fifi, tunggu sebentar nak, selama ini kan kita sama-sama tahu bahwa kamu sering telat, jarang mengerjakan tugas sekolah, tapi saat ini kamu memberikan kejutan bahwa kamu bisa menjadi lulusan terbaik, bisakah kamu jelaskan apa sebenarnya sebab kamu sering telat?" tanya pak Yanto kepada ku

Dan dengan rasa tenang dijiwa aku mulai menjawab pertanyaan pak Yanto; " Maaf pak sebelumnya, dan kepada semuanya mungkin kalian berfikir negatif tentang semua ini, mungkin ini hanya sebuah kebetulan ataukah memang anugerah dari sebuah upaya. Sejak meninggalnya ayahku, menjadikan aku harus berbagi waktu mencari uang, karena keadaan ibu yang memang sering sakit" jawabku dari pertanyaan pak Yanto

"Emmm kenapa Fifi tidak sampaikan kepada pihak sekolah, kan pihak sekolah akan membantu Fifi jika keadaannya seperti itu?" tanya pak Yanto kepada ku

"Maaf pak Saya tidak ingin melemahkan diri sendiri, meskipun dengan terbata-bata tapi itulah sebuah proses, proses untuk mendewasakanku, bukankah ini masalah generasi kita yang terlalu merendahkan diri sendiri dan terlambat menyadari" tegasku kepada pak Yanto

Sontak hal ini menjadikan rekan-rekan ku semua serasa sadar dan mereka mendatangi aku, memeluk aku, bahkan tak sedikit yang menangis dipelukanku. Hari itu sungguh serasa lengkap kebahagiaanku, aku yang sering telah, jarang mengerjakan tugas sekolah karena harus membuat berbagai olahan makanan untuk dijual demi keberlangsungan hidup dan pendidikanku. Aku bersyukur karena masa sulit itu berakhir, dimana semua temanku dapat kembali pada pelukanku.



<<Sekian>>


Pengarang : Slamet Supriadi dikembangkan 27 Februari 2015


0 komentar:

Posting Komentar